Home Nasional Pendapat Ade Armando Terkait Pengunduran Diri Hasan Nasbi

Pendapat Ade Armando Terkait Pengunduran Diri Hasan Nasbi

317
0
SHARE
Pendapat Ade Armando Terkait Pengunduran Diri Hasan Nasbi

Ugdnews.com-Salahsatu di antara pemimpin redaksi yang diundang Presiden Prabowo Subianto untuk wawancara langsung di kediamannya pada Minggu  6 April 2025 lalu, terancam kedududukannya, karena kontrak kerjanya tak dilanjutkan. 

Bukan oleh tekanan pemerintah dan alasan politis lainnya, melainkan karena media tersebut sudah tak kuat melanjutkan operasionalnya. Sudah makin merugi - sama seperti media arus utama lain, yang terus mengurangi staf dan jurnalisnya. Atau pihak investor sedang mencari 'nakhkoda' baru untuk penyelamatan bisnis dan  penyegaran. 

Boleh jadi. Dan itu sebabnya, mengapa dalam wawancara bersama di Hambalang itu, ada Pemred yang memanfaatkan momen kasus pengiriman kepala babi ke kantor Tempo untuk mendesak Presiden Prabowo agar “mengevaluasi” jabatan  Hasan Nasbi, sebagai Kepala Komunikasi Kepresidenan. 

Hasan Nasbi sebenarnya memiliki latar belakang karir jurnalistik juga. Dia pernah menjadi wartawan ‘Kompas’, sebelum dikenal sebagai pendukung Jokowi dan kemudian mendukung Prabowo. Secara resmi dia merupakan salah satu Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka untuk pemilihan umum Presiden Indonesia 2024.

Apakah Prabowo terpengaruh atau tidak oleh desakan pemred media digital itu, nyatanya terbukti kemudian, Hasan Nasbi memang mengundurkan diri. Dan jabatan itu kosong kini. Jabatan yang strategis yang sesuai untuk para wartawan dan diincar oleh para wartawan .

ADE ARMANDO, dosen komunikasi dan pendukugn Jokowi, menyatakan mundurnya Hasan Nasbi bukan karena komentar tentang pengiriman kepala babi ke kantor podcast Bocor Alus Tempo, melainkan karena masalah internal, dimana sebagai Kepala Komunikasi Kepresidenan dia kesulitan berkomunikasi dengan presiden. Semakin jarang diajak rapat kabinet. 

Bagaimana menjelaskan kebijakan presiden dan negara, jika akses ke kebijakan negara lewat rapat di kabinet dibatasi -  kira kira demikian argumen dan analisa Ade Armando. Untuk menjawab beragam isu, Hasan Nasbi tak bisa mengarang ngarang, harus melihat sendiri atau mendapat penjelasan utuh dari kepala negara dan jajaran kabinetnya. 

Mengapa akses Hasan Nasbi dibatasi? Ade Armado hanya bisa menduga duga. Seperti kita juga yang di luar istana. Barangkali ada kubu yang sedang membersihkan “orang orang Jokowi” atau semata mata ada perebutan kekuasaan di kalangan orang orang  "Ring-1” Prabowo dan istana. Tak jelas benar. 

“Setahu saya, Hasan Nasbi sudah kaya raya. Jabatan itu tak penting benar buat dia. Kalau dia merasa tidak kerja maksimal, ya, pilihannya keluar, ” kata Ade yuang menyebut Hasan Nasbi sebagai "junior saya di Universitas Indonesia". 

PRABOWO Subianto merupakan presiden yang memanjakan wartawan. 

Di era Prabowo sederet wartawan mendapat jabatan strategis, seperti Meuthia Hafid (dari Metro TV, menjadi Menkodigi), Budi Arie Setiadi (Media Indonesia Minggu, menteri koperasi), Ni Luh Puspa (Kompas, wakil menteri pariwisata) , Isyana Bagus Oka (RCTI, wakil menteri kependudukan ), Nezar Patria (CNN, wakil menteri komunikasi) dan Thomas Jiwandiri (Business Weekly, wakil menteri keuangan). 

Banyak wartawan yang dekat dengan kekuasaan, selain anti kekuasaan - meski semuanya selalu menunjukkan sikap “independen” - “netral”  atau “sok independen”. Pada setiap era selalu saja ada jurnalis senior mendapat posisi strategis dan dekat dengan istana. 

Pada setiap zaman presiden selaku kepala negara juga memberikan posisi strategis kepada wartawan di pemerintahan. Ada BM Diah di zaman Bung Karno, Adam Malik dan Harmoko di zaman Suharto, Parni Hadi di era BJ Habibie, Hamzah Haz di era Megawati hingga Adhie M. Massardi  di era Gus Dur dan Wahyu Muryadi di era SBY.  

Idealisme yang selalu ditanamkan kepada wartawan adalah menjaga jarak dengan kekuasan. Selalu skeptis menerima pernyataan para petinggi negara, baik eksekutif dan legislatif maupun yudikatif, demi melindungi kepentingan publik, sebagai anjing penjaga ("watchdog") dan pilar ke empat demokrasi. 

Meski demikian, jabatan di lingkungan istana dan kabinet  tetap menggiurkan. Jarang wartawan menolak jabatan yang diberikan oleh presiden, baik sebagai menteri atau juru bicara. 

Dari perbincangan informal yang saya dengar, hanya Jacob Oetama (harian 'Kompas') dan Rosihan Anwar (harian 'Pedoman') yang pada masanya, menolak ajakan presiden untuk menjadi menteri atau pejabat yang dekat dengan presiden.  

Istana Kepresidenan merupakan tempat sakral yang tak bisa disentuh oleh rakyat yang berada di luar istana.

Menurut Maria Hartiningsih, mantan wartawan harian 'Kompas', ada sisi lain dari para wartawan istana, yakni penuh hipokrit atau berpura-pura.  

”Istana sebenarnya itu tempat bernegosiasi dan berpolitik yang mengatasnamakan rakyat. Istana juga dunia yang penuh kepalsuan meski di balik itu ada senyuman. Sebab itu, tak semua wartawan bisa bertugas di Istana Kepresidenan. Dan, saya tidak punya kapasitas dan kemampuan jadi wartawan istana itu,” ujar Maria.

Kini, di era distrupsi ketika media mengalami ketidak-pastian, sulit bertahan secara bisnis,  istana menjadi magnet bagi para wartawan senior yang kini mulai terancam kehilangan pekerjaan, dan karena mereka mencari cara untuk mendapat job di sana. 

Termasuk dengan cara “menggesar” rekan seprofesi yang sudah duduk di sana.


 (Dimas Supriyanto )

Iklan Detail Video

iklanhomebawah